Setelah empat
tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, blog yang tadinya sudah ingin saya
pensiunkan demi pindah ke alamat dan format baru. Berhubung rencana itu masih
tertunda, sementara suara hati saya tidak bisa ditunda, maka kembalilah saya
kemari. Sebagai seseorang yang selama ini apatis dan nyaman mengusung golput,
tidak pernah saya duga urgensi menulis ini bakal didorong oleh peristiwa
politik.
Peristiwa
politik yang satu ini memang tidak biasa. Sepanjang ingatan, belum pernah
rasanya masyarakat begitu menggebu menggunakan hak pilihnya. Saya salah satu
orang yang tertular semangat itu. Tahun ini, untuk kali pertama saya
berpartisipasi dalam pilpres.
Memori kuat
pertama saya tentang pemilu tertoreh tahun 1997, setahun sebelum reformasi,
waktu saya akhirnya punya KTP dan cukup umur untuk mencoblos. Partainya saat
itu masih merah-kuning-hijau dan kita sama-sama tahu siapa yang akan jadi
pemenang. Sepuluh meter sebelum TPS di halaman kantor kelurahan, saya balik
badan dan berlari pulang. Tidak sanggup rasanya ikut andil dalam peristiwa yang
bagi saya menyalahi nurani. Protokol politik dikemas dalam judul pesta
demokrasi. Sebagaimana sebuah protokol, kita sudah tahu awal dan akhirnya. Saya
berontak dan tidak mau ambil bagian. Belakangan baru saya tahu, apa yang saya
lakukan itu punya nama. Punya warna. Golongan putih.
Esok lusa,
saya memilih untuk meninggalkan golongan putih. Dan, jika warna terkait dengan
partai politik, kali ini saya pun tidak mengusung warna tertentu. Cuma
mengusung harapan saya. Harapan itu warna-warni untuk Indonesia yang bagai
pelangi.
Alasan pertama
yang menggiring saya mempertaruhkan suara adalah kerinduan memiliki pemimpin
yang merupakan seorang pemelihara. Bukan sekadar penguasa. Kriteria tersebut
lebih mudah saya temukan pada sosok orang yang berorientasi kerja dan
implementasi, yang sudah terukur hasil kerjanya dan berprestasi, yang isi dan
bukan kemasan. Dalam pemilu kali ini, saya melihat sosok itu ada.
Alasan kedua
adalah preferensi kuat saya terhadap keberagaman. Bagi saya, keberagaman adalah
esensi kehidupan. Dari kacamata keberagaman, Indonesia memiliki harta karun
yang luar biasa. Bangsa ini lahir dari keberagaman, bukan keseragaman. Dari
Sabang sampai Merauke, teruntai budaya, bahasa, kepercayaan, wujud manusia,
yang berbeda-beda. Balik dari Merauke sampai Sabang, teruntai flora, fauna,
ekosistem, kekayaan alam yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin kita ingkari itu
semua hanya demi fantasi keseragaman segelintir pihak tertentu? Bagaimana
mungkin kita mau didorong untuk membenci perbedaan yang padahal merupakan
hakikat dan jatidiri kita? Ketika mereka yang kerap menyatakan perang terhadap
keberagaman mendarat di sebuah kubu, saya memutuskan untuk berada di
seberangnya.
Alasan ketiga
merupakan faktor yang tidak saya perhitungkan sama sekali. Dari sekadar
penonton pasif, saya mulai resah ketika dari hari ke hari cara-cara yang
dipakai untuk bertanding dalam pemilu kali ini begitu keji. Gelombang fitnah
yang terus membubung hingga ke titik ekstrem membuat rasa keadilan saya
terusik. Kemenangan semegah ini seharusnya tidak diperoleh dengan praktik
serendah ini, pikir saya. Sebagai Sarjana Ilmu Politik, saya tidak buta sama
sekali. “Politik itu kotor” adalah mantra klasik yang kita dengar setiap saat,
terjadi di sekitar kita setiap hari dalam berbagai bentuk. Namun, tidak berarti
kita harus sampai kehabisan ruang untuk hati nurani. Dalam lumpur sepekat apa
pun, jangan biarkan cahaya dalam hati kita habis tenggelam.
Didorong oleh
ketiga alasan itu, saya lalu memutuskan untuk ikut turun. Dari cuma penonton
yang bungkam, saya mulai bersuara. Menyatakan pilihan saya secara terbuka.
Menawarkan bantuan sesuai kapasitas saya. Jujur, tidak banyak yang saya bisa
lakukan. Dibandingkan dengan relawan-relawan di seluruh pelosok Indonesia yang
bekerja keras berbulan-bulan, kontribusi saya hanyalah debu. Justru kebersamaan
singkat dengan merekalah yang menjadi imbalan luar biasa bagi saya. Plus, satu
kemasan teh kotak dan dua botol air mineral 330 ml.
Kita semua
berada pada detik-detik penentuan. Kulminasi perjuangan kita ada di bilik
suara. Di titik ini, saya ingin mulai melepas. Terbungkus doa yang saya ucapkan
hingga menitik air mata, saya ikhlaskan apa pun hasilnya.
Siapa pun
pemimpin bangsa ini nanti, pilihan saya atau bukan, saya tetap manusia
Indonesia. Tidak ada yang bisa menggantikan dan merebut rasa cinta itu, bahkan
jika hati saya patah karena pilihan saya bukan jadi juara. Di atas itu semua,
Indonesia adalah tanah, air, udara, dan darah saya. Ibu kita semua.
Saya berdoa
agar kedamaian terus bersama kita. Saya berdoa agar Ibu Pertiwi ini kian
disayangi dan dipelihara oleh anak-anaknya.
Saya berdoa,
ke arah mana pun Indonesia melangkah dan siapa pun pemimpinnya, cinta yang sama
tetap bisa menyatukan kita. Dalam masa paling sulit sekalipun, semoga kita
mampu melihat satu sama lain, sesama anak-anak Ibu Pertiwi, dan masih menemukan
sosok saudara. Meski kamu Satu dan saya Dua.
Siapa pun
Anda, calon pemimpin bangsa, yang belum diketahui siapa orangnya saat tulisan
ini diturunkan, ingatlah terus bahwa cinta Indonesia melampaui semua angka.
Cinta ini
tidak bisa dibeli. Tidak bisa direbut. Ia bisa patah, tapi juga bisa sembuh
kembali. Inilah cinta yang tidak bisa mati. Genggam terus saat Anda memimpin
nanti.
Saudaramu
se-Ibu,
Dewi Lestari.
sumber
http://dee-idea.blogspot.com/2014/07/surat-suara-tanpa-angka.html
Komentar
Posting Komentar